Kebersamaan, Kepercayaan, Keyakinan & Keberanian Menjadi Kekuatan Utama Mendorong Perubahan
GERAKAN TOLAK TAMBANG DI GUNUNG TUMPANG PITU (G7)
HENTIKAN PENAMBANGAN DI G7 DENGAN MENOLAK TAMBANG EMAS SAAT INI, KEMBALIKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT UNTUK MERAIH KESEJAHTERAAN MEREKA MELALUI PRIORITAS PERTANIAN, PERKEBUNAN, KEHUTANAN, PERIKANAN, KELAUTAN DLL, YAKINKAN KEPADA MEREKA BAHWA NEGARA HARUS MENJAMIN KETERSEDIAAN AIR BERKUALITAS DAN IRIGASI PERTANIAN YANG EFEKTIF & FUNGSIONAL; MELALUI FASILITAS PEMBANGUNAN. MINA-POLITAN, MINA-WISATA, AGROBISNIS, AGRO-WISATA, AGROFORESTRY DLL MASIH TETAP BISA MENJADI JALAN UNTUK MERAIH KESEJAHTERAAN BANYUWANGI.

Selasa, 10 April 2012

Menyembunyikan Sosialisasi Tambang Emas di Hadapan RAKYAT


partisipasi icdhre; Senin, 09 September 2008 bertempat di perkebunan Sungai Lembu desa Sumberagung kecamatan Pesanggaran berlangsung acara “Paparan Feasibility Studi dan Amdal Pertambangan Emas di Desa Sumberagung kecamatan Pesanggaran oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral propinsi Jawa Timur dan Bappedal propinsi Jawa Timur”.
Kegiatan ini merupakan langkah sosialisasi yang baru dilaksanakan setelah Pemda Banyuwangi mendapat resistensi kencang dari masyarakat terkait pertambangan Tumpang Pitu. Tetapi, banyak kejanggalan berkenaan pelaksanaan acara ini. Mulai dari kesimpangsiuran tempat sosialisasi, tidak adanya pemberitahuan terbuka kepada masyarakat, pemilihan peserta sosialisasi (lebih memilih yang pro tambang sedang pihak kontra tidak diundang), penjagaan ketat tempat acara yang terkesan dibuat-buat oleh aparat keamanan (polisi, tentara, Satpol PP dan keamanan PTPN Sungai Lembu) serta tidak mengundang pers.
Dari semua hal diatas ada beberapa poin-poin penting yang bisa dijadikan pemikiran. Pertama, mengapa sosialisasi dampak tambang harus dilakukan ditengah kebun yang jauh dari penduduk. Kedua, sudahkah pemda Banyuwangi memiliki konsep yang jelas mengenai kegiatan tambang ini kedepan. Mengapa sampai timbul kesimpulan seperti ini. Karena, dengan perlakuan yang berlebih tersebut, kesan ketakutan pemerintah serta investor makin kuat. Ketakutan bahwa rencana pertambangan ini tidak melalui prosedur yang sebenarnya kian jelas. Tengara ini dikatakan oleh Sukarno ketua LSM SADAP Pesanggaran yang mengaku harus merayu pihak kecamatan untuk bisa ikut masuk pertemuan. “Benar, saya harus merayu-rayu pihak kecamatan untuk bisa masuk. Dan baru jam sebelas siang ini saya mendapat undangan ini. Itupun setelah dengan alasan saya akan membela tambang. Kemudian yang menjadi keheranan saya, mengapa harus ditempat terpencil. Bukankah nantinya, tambang ini akan berdampak pada masyarakat khususnya yang ada di Pesanggaran. Nah, kalau sosialisasinya saja sudah slinthutan seperti ini bagaimana nanti kalau tambang benar-benar diloloskan. Apa tidak makin menyengsarakan rakyat dan janji kesejahteraan itu tidak akan pernah terjadi”, tukasnya lebih jauh.
            “Oleh sebab itu, sikap LSM SADAP jelas menolak tambang Tambang Pitu dengan alasan apapun. Sebab dari langkah awal ini saja sudah tidak mau terbuka apalagi nanti”, imbuh Sukarno. Saat ditanya apa yang akan dilakukan untuk menolak rencana tambang ini kedepan, Sukarno mengatakan akan menguatkan organisasi yang dia pimpin termasuk masyarakat sekitar. “Tidak ada jalan lain yaitu menguatkan organisasi rakyat sebagai bagian dari perjuangan. Sebab, nantinya masyarakat pulalah yang akan menerima akibat yang lebih jauh. Karena saya bagian dari masyarakat, maka saya harus bertindak menyelamatkan wilayah saya”, tegasnya sembari bersiap-siap mengikuti sosialisasi. Senada dengan Sukarno, Budi salah satu tokoh muda Pesanggaran juga mengatakan akan menolak tambang dengan resiko apapun. “Saya menolak tambang dengan resiko apapun. Bukan karena saya tidak kebagian uang dari IMN kemudian saya menolak. Kalau dipikir-pikir, tambang jadi dibuka sayapun ikut untung sebab saya punya truk pengangkut. Tapi hal itu sudah saya tepis jauh-jauh. Kesejahteraan anak cucu kedepanlah yang menjadi taruhannya. Kalau sawah, hutan serta laut sudah rusak, anak cucu nanti makan apa. Karena itu sikap saya tegas menolak tambang emas Tumpang Pitu”, tutur Budi menutup perbincangan dengan PARTISIPASI.
            Pelaksanaan acara yang mundur dari jadwal membuat banyak pihak kesal. Tidak terkecuali pihak keamanan. Saat ditanya mengenai acara ini, salah satu petugas keamanan hanya menjawab pendek “sebenarnya kami tidak tahu menahu soal ini. Pokoknya ada perintah menjaga, ya kami melakukan pengamanan. Soal yang lain-lain saya tidak tahu. Tetapi sebenarnya saya juga heran, lha wong acara sosialisasi kok tertutup. Sepengetahuan saya sosialisasi harus terbuka dan mengundang banyak wartawan. Sementara, disini sampean sebagai wartawan tidak boleh masuk jadinya aneh kan?”, ujarnya sambil berlalu melanjutkan tugas. Sekitar jam 16.30 acara berhenti untuk rehat sambil memberi kesempatan peserta sholat. Tetapi banyak peserta yang meninggalkan pertemuan dan pulang sebab beralasan sosialisasi ini sia-sia karena dampak tambang sudah jelas.
            Salah satu peserta yang tidak mampu menahan marah adalah Purwanto. Pada waktu istirahat tersebut, Purwanto yang juga sebagai kamituwo (kepala dusun) Silirbaru Desa Sumberagung mengatakan “tidak perlu bicara dampak-dampak, tolak saja tambang karena akan menyengsarakan rakyat. Saya marah sekali karena selama ini saya tidak pernah diajak bicara. Sebagai pamong rakyat dan wilayah yang akan ketempatan tambang, selama ini saya tidak pernah diajak bicara baik oleh kecamatan maupun Pemda. Harap sampean ketahui ada kurang lebih 40 orang warga saya yang kerja ditambang. Terus terang sejak awal saya sudah menolak tambang ini. Sebab, wilayah Tumpang Pitu terbesar ada didusun saya. Kalau kemudian Tumpang Pitu ditambang, yang rusak bukan hanya Sumberagung dan Pesanggaran tetapi semuanya”, ujarnya berapi-api. Kemudian ia pun menambahkan “tanpa perlu tambang, Sumberagung sudah makmur. Dan kemakmuran ini bisa dinikmati seterusnya serta melibatkan banyak orang. Tambang memang bisa makmur diawal tetapi kerusakan yang harus ditanggung jauh lebih banyak dan lebih lama nantinya. Seharusnya pemerintah kabupaten lebih memikirkan pertanian, sebab yang terlibat di usaha pertanian sekian banyak orang. Jadi tidak usah tambang, Sumberagung sudah kaya raya tanpa tambang. Untuk masyarakat saya setelah ini melalui pengajian, yasinan dan kegiatan lain-lain, saya akan terus memberikan penerangan soal dampak buruk tambang”, tegas Purwanto sambil bergegas pulang.
            Salah satu peserta yang juga keluar adalah Kepala Desa Pesanggaran, Sasongko. Menurutnya acara seperti ini sia-sia sebab yang diundang hanya sebagian orang dan tidak mewakili seluruh rakyat Pesanggaran. “Tambang lebih banyak sengsaranya daripada senangnya. Setelah mengikuti acara ini saya tambah yakin bahwa tambang harus ditolak. Desa Pesanggaran adalah salah satu wilayah yang masuk dalam konsesi. Saya tidak bisa membayangkan kalau nanti kami harus bedhol desa seperti dalam film Buyat. Sanggar adalah tanah kelahiran saya dan oleh karena saya bertekat untuk menyadarkan rakyat saya akan bahaya kerusakan tambang emas. Sama seperti kamituwo Silirbaru tadi, Pesanggaran sudah kaya walau tanpa tambang. Hasil pertanian kami sudah lebih dari cukup untuk dibuat makan kenapa pula harus tambang. Akan saya kabarkan kepada rakyat saya hasil pertemuan ini, biar semuanya jelas dan tidak gelap-gelapan seperti ini”, ujar Sasongko sambil pamit pulang.
            Mengomentari acara sosialisasi AMDAL PT.IMN, mas Giri salah satu pemerhati AMDAL dari Jember dan pernah mengikuti pelatihan khusus soal AMDAL mengatakan bahwa AMDAL yang diajukan IMN banyak kesalahan. “Dalam pemaparan ANDAL yang diajukan oleh IMN saja sudah terjadi sekian banyak kejanggalan. Kita mulai dari ijin eksploitasi yang meningkat sampai 30 tahun. Kasus Newmont di Buyat adalah contoh baik soal kecurangan invenstor. Dalam laporannya, Newmont Minahasa Raya mengajukan waktu 30 tahun untuk ditambang. Tetapi kenyataannya hanya 18 tahun kandungan emas di Buyat habis dan yang tertinggal saat ini hanya sampah serta alam yang hancur. Kemudian soal tenaga kerja. Disebutkan IMN hanya menerima 120 orang dimana 10 orang pimpinan, sisanya pekerja. Padahal pertambangan adalah wilayah yang membutuhkan keahlian khusus seperti geologi, pertambangan, kimia dan lain-lain. Dengan kualifikasi ini, apakah mungkin masyarakat sekitar mampu memenuhi”, urai mas Giri yang juga alumnus UNEJ ini.
            “Lalu soal pengambilan contoh persetujuan rakyat sekitar tambang, Mengapa hanya 70 orang saja yang dijadikan sample dibanding 16.000 lebih rakyat Pesanggaran. Apakah contoh ini bisa mewakili suara rakyat Pesanggaran. Terus, mengapa yang jadi indikator adalah tingkat pendidikan bukan pekerjaan dan ekonomi. Padahal pertambangan adalah jenis usaha subtitusi yang artinya, suatu usaha yang bila dibuka akan menghilangkan sekian jenis pekerjaan lain”, ujarnya panjang lebar. Kemudian mas Giri menambahkan “dari paparan ini jelas, bahwa IMN telah melakukan kebohongan publik mulai dari awal. Perhitungan dampak akibat tambang tidak diikutkan hanya menyebutkan keuntungan. Kemudian ada yang menarik, bila diteliti dengan cermat ternyata ANDAL yang dipakai IMN adalah milik pertambangan batu bara Kelian di Kalimantan. Padahal ANDAL emas dengan batu bara sangat berbeda, baik penanganan awal maupun pelaksanaan akhir kegiatan pertambangan”, demikian papar mas Giri panjang lebar.
            Kejelasan dan keterbukaan adalah kunci bagi kemajuan dalam bidang apapun. Tambang Tumpang Pitu dikesankan membawa kemajuan tetapi ternyata kehancuran. Kata pepatah, rakyat Banyuwangi ini ibarat memiliki ayam bertelur emas. Selama ini sang ayam selalu menelurkan emas yang membawa kemakmuran Banyuwangi (laut, sawah, gunung dan hutan). Tetapi keserakahan sekian orang yang ingin mendapat induk ayam sekaligus membunuhnya. Bila kekayaan alam yang menjadi andalan Banyuwangi telah habis digali, modal apalagi yang bisa digunakan membangun daerah ini untuk maju. Pemikiran yang jernih dan lepas dari kepentingan sesaat sangat diperlukan guna membangun kehidupan bersama yang lebih baik, semoga (by).
ans!!