Kebersamaan, Kepercayaan, Keyakinan & Keberanian Menjadi Kekuatan Utama Mendorong Perubahan
GERAKAN TOLAK TAMBANG DI GUNUNG TUMPANG PITU (G7)
HENTIKAN PENAMBANGAN DI G7 DENGAN MENOLAK TAMBANG EMAS SAAT INI, KEMBALIKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT UNTUK MERAIH KESEJAHTERAAN MEREKA MELALUI PRIORITAS PERTANIAN, PERKEBUNAN, KEHUTANAN, PERIKANAN, KELAUTAN DLL, YAKINKAN KEPADA MEREKA BAHWA NEGARA HARUS MENJAMIN KETERSEDIAAN AIR BERKUALITAS DAN IRIGASI PERTANIAN YANG EFEKTIF & FUNGSIONAL; MELALUI FASILITAS PEMBANGUNAN. MINA-POLITAN, MINA-WISATA, AGROBISNIS, AGRO-WISATA, AGROFORESTRY DLL MASIH TETAP BISA MENJADI JALAN UNTUK MERAIH KESEJAHTERAAN BANYUWANGI.

Selasa, 10 April 2012

RAKYAT BANYUWANGI TETAP: TOLAK TAMBANG !!!


Partisipasi  icdhre; Bertempat di hotel New Surya Jajag tanggal 20 September 2008 diadakan pertemuan sekaligus buka puasa dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian soal tambang Tumpang Pitu. Peserta acara ini berasal dari nelayan, petani, koalisi tolak tambang emas dari Surabaya, Jember dan Banyuwangi serta akademisi dan mahasiswa. Menjadi istimewa,
sebab dari berbagai kegiatan tolak tambang yang telah dilakukan, baru kali ini civitas akademika perguruan tinggi se-Banyuwangi mengikuti. Selain itu, pertemuan kali ini adalah salah satu upaya koalisi tolak tambang untuk menyamakan persepsi berbagai pihak tersebut dan mengurai kecurigaan yang selama ini timbul dengan duduk bersama.
            Lewat paparan awal dan sebagai pembuka acara, Edi Sujiman dari ICDHRE koorda Banyuwangi yang sekaligus sekjen KaRaTT (Koalisi Rakyat Tolak Tambang) Banyuwangi mengatakan bahwa, sudah saatnya berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap tambang harus saling mempercayai. “Saya selaku pribadi maupun sekjen KaRaTT sangat senang, akhirnya civitas akademika mau hadir dalam acara yang diadakan koalisi tolak tambang ini. Sebab, banyak suara diluar yang mengatakan bahwa kegiatan tolak tambang ini tendensinya politis dan sudah menjadi kepentingan kelompok tertentu. Bahkan yang menggelikan, bahwa teman-teman yang menolak tambang ini sudah mendapat sejumlah uang. Lewat pertemuan ini saya tegaskan bahwa semua kabar itu tidak benar. Sikap penolakan ini murni dari semua elemen masyarakat yang peduli terhadap Banyuwangi, baik dari dalam maupun luar Banyuwangi. Maka, saya mengharap bahwa mulai saat ini kecurigaan diantara kita harus dibuang jauh. Curiga boleh bahkan diharuskan bila berhadapan dengan siapapun yang tidak membela rakyat”, ujar Edi Sujiman kemudian.
            Menanggapi hal ini wakil dari Lampon, Paeno mengatakan setuju dengan pemaparan tersebut. Menurutnya memang harus segera dicari titik temu agar langkah penolakan ini makin kuat, “pertemuan ini adalah untuk menyatukan sikap yaitu; tolak tambang emas Tumpang Pitu. Saya ini sering menerima keluhan dari nelayan Lampon maupun petani bahwa tambang emas akan merugikan. Saya berharap sampai akhir nanti sikap kita sama yaitu menolak tambang. Jangan kemudian setuju menolak tapi berubah saat diberi uang seperti tim 17. Awalnya gembar-gembor sosialisasi tapi mana saat ini kok tidak ada yang muncul. Saya tidak ingin hal ini terjadi disini. Oleh karena itu, hilangkan perbedaan dan satukan langkah agar Tumpang Pitu tidak jadi ditambang”, ujarnya lebih lanjut. Senada dengan Paeno, wakil dari Pancer Sumarno mengatakan bahwa adanya tambang lebih banyak rugi dibanding untungnya. “Saya melihat sendiri kerugian akibat tambang yang diderita nelayan maupun petani. Kejadiannya saat saya dibawa oleh teman-teman LSM ke Sumbawa. Disana kehidupan nelayannya makin mengenaskan ketika Newmont masuk. Bila dulu, dengan seliter solar tidak habis sebab cari ikannya dekat dan jaring mereka tidak muat karena banyaknya ikan. Sekarang, untuk buat beli solar saja sudah tidak mampu karena cari ikannya makin jauh dan hasilnya juga tambah sedikit. Demikian juga petaninya juga makin kekurangan air untuk pertaniannya. Kalaupun ada, airnya tidak dapat dipakai karena sudah beracun”, imbuh Sumarno.
            Menyambung pernyataan dua orang tersebut, wakil dari Ringinagung mengatakan,”nama saya Ngadeni, tapi orang-orang biasa manggil saya mbah Deni. Tempat tinggal saya persis dibawah Tumpang Pitu. Jadi kalau Tumpang Pitu ditambang, saya pertama kali yang kena getahnya. Saya juga mau cerita soal kerugian adanya tambang. Dulu ada sumber mata air yang bisa digunakan untuk minum. Tapi sekarang jangankan minum untuk cuci muka sudah gatal-gatal. Selain itu tempat saya rawan gempa dan banyak goa-goa bawah tanah. Kemudian setelah ada kegiatan di Tumpang Pitu, saya sering merasakan getaran kalau malam seperti gempa dan bunyinya ‘grek..grek’. Kalau jadi ditambang, saya takut tiba-tiba ambrol kebawah, terus nasib kami bagaimana. Oleh karena itu, saya mewakili warga Ringinagung memohon kepada semua yang hadir disini untuk bersama-sama menolak tambang Tumpang Pitu sebab banyak kerugiannya”, ucap mbah Deni kemudian.
Pada kesempatan berikutnya, kepala desa Pesanggaran Sasongko juga angkat bicara, “memang benar seperti yang diomongkan oleh mbah Deni. Saya adalah kepala desa Pesanggaran dan mbah Deni merupakan warga saya. Berkaitan dengan tambang ini, beberapa waktu lalu saya menyuruh staf saya ikut studi banding ke tambang Pongkor, Jawa Barat. Saya tugasi staf saya dengan tiga hal; soal limbah, penyerapan tenaga kerja dan pembangunan infrastruktur. Ternyata semuanya nol besar serta tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kemudian, alasan saya ikut dalam kegiatan menolak tambang ini ialah karena laporan warga saya yaitu petani dan nelayan. Setiap hari mereka selalu lapor bahwa adanya tambang ini akan merugikan. Pada waktu sosialisasi di Sungailembu kemarin saya menyoal masalah air. Saya mengatakan bahwa tambang butuh air dari sungai Kalibaru terus dinaikkan ke sungai Gonggo dan digunakan oleh tambang untuk pencuciannya. Lalu setelah selesai, dari sana dialirkan lagi ke sungai Gonggo yang muaranya di pantai Lampon. Padahal air hasil pengolahan tambang itu beracun kalau kemudian dibuang kelaut terus bagaimana. Sementara, daerah-daerah ini adalah wilayah saya makanya saya menolak. Kemudian sebagai penutup, penolakan tambang ini adalah masalah rakyat, masalah bersama. Karena masalah rakyat jangan pernah mempunyai pikiran untuk dijadikan hal-hal politik”, tegas kades Pesanggaran ini.
Pernyataan kades Pesanggaran ini juga diikuti oleh kades Kandangan Barok dan kades Sarongan Basuni. Sebagai daerah terdampak pertama, kedua desa ini beserta Pesanggaran, minim sekali sosialisasi tentang akibat-akibat pertambangan. “Sebagai kades Kandangan, saya sampai hari ini tidak tahu apa akibat yang kami terima bila tambang jadi dibuka. Bahkan, arti kata dampak itu sendiri kami tidak tahu, kalau mahasiswa saya yakin sudah paham artinya. Tetapi bagi warga saya, hal ini kurang dipahami. Nah untuk itu, saya mengajak agar warga Kandangan diberi sosialisasi agar mengerti. Saya tidak takut dipecat karena saya menolak tambang. Jabatan ini amanah dari rakyat dan akan saya gunakan untuk kepentingan rakyat”, tegas beliau selanjutnya. Senada dengan kades Kandangan, kades Sarongan juga mengatakan hal yang sama. “Daerah saya 70% mengandalkan ekonomi dari nira serta gula kelapa. Bila musim seperti ini, nira yang didapat sedikit karena kekurangan air. Kalau nantinya air sungai disedot untuk tambang, air untuk pertanian terutama pertanian pohon kelapa juga makin sedikit. Akibatnya jelas, akan makin sedikit nira yang diperoleh. Oleh sebab itu, saya mengundang untuk mengadakan sosialisasi akibat tambang di Sarongan. Soal waktunya terserah, tapi saya sangat menginginkan hal ini terwujud dalam waktu dekat”, ucap kades Sarongan lebih jauh.
            Acara kemudian direhat sebentar karena masuk waktu berbuka puasa. Setelah berbuka dan sholat maghrib acara dilanjutkan kembali. Kali ini anggota KARST (Konsorsium Advokasi Rakyat Sekitar Tambang) Jember, Sholeh dari Mina Bahari Jember mengawali perbincangan, “saya mengambil contoh waktu penolakan tambang emas di Jember. Hasil Bathsul Masa’il NU Jember  mengeluarkan fatwa bahwa tambang emas haram hukumnya. Alasannya adalah, dengan adanya tambang maka akan ada sekian pekerjaan yang hilang dan oleh karena itu wajib hukumnya untuk ditolak. Demikian juga bila IMN dibolehkan menambang, berapa nantinya banyak rakyat yang akan dikorbankan serta kerusakan yang akan terjadi. Nah, melihat dari bermacam segi baik sosial maupun agama lebih banyak kerugiannya mengapa tidak kita tolak”, ucapnya kemudian.
            Menyambung pernyataan tersebut, seluruh elemen gerakan mahasiswa baik internal dan eksternal mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada keraguan untuk menolak. Wakil dari BEM Untag bahkan mengatakan bahwa sebenarnya mahasiswa sudah tergabung dalam satu wadah yaitu ‘Forum Diskusi Tanpa Batas’ dan sudah melakukan tindakan nyata. Hal ini juga dikuatkan oleh wakil PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Banyuwangi bahwa, rencana tambang emas Tumpang Pitu jelas-jelas merugikan rakyat. Oleh karena itu PMII tegas menolak tambang Tumpang Pitu. Wakil GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Banyuwangi juga mengatakan hal yang sama. Dasar landasannya ialah, sudah bukan waktunya lagi penindasan atas dasar apapun terjadi di Indonesia dan GMNI melihat bahwa IMN (investor tambang Tumpang Pitu, red) adalah penindas baru makanya harus ditolak. Senada dengan itu, wakil HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Banyuwangi mengatakan bahwa, mekanisme pemberian ijin kepada IMN cacat hukum. Sehingga, keberadaan IMN illegal dan harus ditolak. Selain itu HMI juga mengatakan harus ditinjau ulang mekanisme pemberian perijinan ditingkat dewan Banyuwangi dan bila perlu digelar sidang paripurna.
            Satunya sikap dan bertambahnya kawan seperjuangan akan membuat langkah makin ringan. Seluruh peserta pertemuan berbagai pihak di New Surya Jajag semakin menyadari bahaya tambang kedepan. Oleh sebab itu segera disusun rencana tindak lanjut dari pertemuan ini agar kekuatan masyarakat makin poadu dan utuh. Perjuangan ini masih panjang dan rumit. Sebab yang dihadapi adalah persekongkolan ekonomi politik yang tidak memihak orang banyak. Tindakan ekonomi politik yang berwawasan sempit inilah yang makin membuat rakyat tidak akan pernah sejahtera. Kemandirian dan kekuatan rakyat merupakan syarat mutlak keberadaan suatu bangsa dan negara. Bila dua hal ini tak terwujud, sulit untuk tetap bisa berdaulat dan berkuasa ditanah sendiri (by).
ans!!