Partisipasi icdhre; Bertempat di hotel New Surya Jajag tanggal 20 September 2008 diadakan
pertemuan sekaligus buka puasa dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian
soal tambang Tumpang Pitu. Peserta acara ini berasal dari nelayan, petani,
koalisi tolak tambang emas dari Surabaya, Jember dan Banyuwangi serta akademisi
dan mahasiswa. Menjadi istimewa,
sebab dari berbagai kegiatan tolak tambang
yang telah dilakukan, baru kali ini civitas akademika perguruan tinggi
se-Banyuwangi mengikuti. Selain itu, pertemuan kali ini adalah salah satu upaya
koalisi tolak tambang untuk menyamakan persepsi berbagai pihak tersebut dan
mengurai kecurigaan yang selama ini timbul dengan duduk bersama.
Lewat paparan awal dan
sebagai pembuka acara, Edi Sujiman dari ICDHRE koorda Banyuwangi yang sekaligus
sekjen KaRaTT (Koalisi Rakyat Tolak Tambang) Banyuwangi mengatakan bahwa, sudah
saatnya berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap tambang harus saling
mempercayai. “Saya selaku pribadi maupun sekjen KaRaTT sangat senang, akhirnya
civitas akademika mau hadir dalam acara yang diadakan koalisi tolak tambang
ini. Sebab, banyak suara diluar yang mengatakan bahwa kegiatan tolak tambang
ini tendensinya politis dan sudah menjadi kepentingan kelompok tertentu. Bahkan
yang menggelikan, bahwa teman-teman yang menolak tambang ini sudah mendapat
sejumlah uang. Lewat pertemuan ini saya tegaskan bahwa semua kabar itu tidak
benar. Sikap penolakan ini murni dari semua elemen masyarakat yang peduli
terhadap Banyuwangi, baik dari dalam maupun luar Banyuwangi. Maka, saya
mengharap bahwa mulai saat ini kecurigaan diantara kita harus dibuang jauh.
Curiga boleh bahkan diharuskan bila berhadapan dengan siapapun yang tidak
membela rakyat”, ujar Edi Sujiman kemudian.
Menanggapi hal ini wakil
dari Lampon, Paeno mengatakan setuju dengan pemaparan tersebut. Menurutnya
memang harus segera dicari titik temu agar langkah penolakan ini makin kuat,
“pertemuan ini adalah untuk menyatukan sikap yaitu; tolak tambang emas Tumpang
Pitu. Saya ini sering menerima keluhan dari nelayan Lampon maupun petani bahwa
tambang emas akan merugikan. Saya berharap sampai akhir nanti sikap kita sama
yaitu menolak tambang. Jangan kemudian setuju menolak tapi berubah saat diberi
uang seperti tim 17. Awalnya gembar-gembor sosialisasi tapi mana saat ini kok
tidak ada yang muncul. Saya tidak ingin hal ini terjadi disini. Oleh karena
itu, hilangkan perbedaan dan satukan langkah agar Tumpang Pitu tidak jadi
ditambang”, ujarnya lebih lanjut. Senada dengan Paeno, wakil dari Pancer
Sumarno mengatakan bahwa adanya tambang lebih banyak rugi dibanding untungnya.
“Saya melihat sendiri kerugian akibat tambang yang diderita nelayan maupun
petani. Kejadiannya saat saya dibawa oleh teman-teman LSM ke Sumbawa. Disana
kehidupan nelayannya makin mengenaskan ketika Newmont masuk. Bila dulu, dengan
seliter solar tidak habis sebab cari ikannya dekat dan jaring mereka tidak muat
karena banyaknya ikan. Sekarang, untuk buat beli solar saja sudah tidak mampu
karena cari ikannya makin jauh dan hasilnya juga tambah sedikit. Demikian juga
petaninya juga makin kekurangan air untuk pertaniannya. Kalaupun ada, airnya
tidak dapat dipakai karena sudah beracun”, imbuh Sumarno.
Menyambung pernyataan dua
orang tersebut, wakil dari Ringinagung mengatakan,”nama saya Ngadeni, tapi
orang-orang biasa manggil saya mbah Deni. Tempat tinggal saya persis dibawah
Tumpang Pitu. Jadi kalau Tumpang Pitu ditambang, saya pertama kali yang kena
getahnya. Saya juga mau cerita soal kerugian adanya tambang. Dulu ada sumber
mata air yang bisa digunakan untuk minum. Tapi sekarang jangankan minum untuk
cuci muka sudah gatal-gatal. Selain itu tempat saya rawan gempa dan banyak
goa-goa bawah tanah. Kemudian setelah ada kegiatan di Tumpang Pitu, saya sering
merasakan getaran kalau malam seperti gempa dan bunyinya ‘grek..grek’. Kalau
jadi ditambang, saya takut tiba-tiba ambrol kebawah, terus nasib kami
bagaimana. Oleh karena itu, saya mewakili warga Ringinagung memohon kepada
semua yang hadir disini untuk bersama-sama menolak tambang Tumpang Pitu sebab
banyak kerugiannya”, ucap mbah Deni kemudian.
Pada kesempatan berikutnya, kepala desa
Pesanggaran Sasongko juga angkat bicara, “memang benar seperti yang diomongkan
oleh mbah Deni. Saya adalah kepala desa Pesanggaran dan mbah Deni merupakan
warga saya. Berkaitan dengan tambang ini, beberapa waktu lalu saya menyuruh
staf saya ikut studi banding ke tambang Pongkor, Jawa Barat. Saya tugasi staf
saya dengan tiga hal; soal limbah, penyerapan tenaga kerja dan pembangunan
infrastruktur. Ternyata semuanya nol besar serta tidak sesuai dengan yang
dijanjikan. Kemudian, alasan saya ikut dalam kegiatan menolak tambang ini ialah
karena laporan warga saya yaitu petani dan nelayan. Setiap hari mereka selalu
lapor bahwa adanya tambang ini akan merugikan. Pada waktu sosialisasi di
Sungailembu kemarin saya menyoal masalah air. Saya mengatakan bahwa tambang
butuh air dari sungai Kalibaru terus dinaikkan ke sungai Gonggo dan digunakan
oleh tambang untuk pencuciannya. Lalu setelah selesai, dari sana dialirkan lagi
ke sungai Gonggo yang muaranya di pantai Lampon. Padahal air hasil pengolahan
tambang itu beracun kalau kemudian dibuang kelaut terus bagaimana. Sementara,
daerah-daerah ini adalah wilayah saya makanya saya menolak. Kemudian sebagai
penutup, penolakan tambang ini adalah masalah rakyat, masalah bersama. Karena
masalah rakyat jangan pernah mempunyai pikiran untuk dijadikan hal-hal
politik”, tegas kades Pesanggaran ini.
Pernyataan kades Pesanggaran ini juga diikuti oleh
kades Kandangan Barok dan kades Sarongan Basuni. Sebagai daerah terdampak
pertama, kedua desa ini beserta Pesanggaran, minim sekali sosialisasi tentang
akibat-akibat pertambangan. “Sebagai kades Kandangan, saya sampai hari ini
tidak tahu apa akibat yang kami terima bila tambang jadi dibuka. Bahkan, arti
kata dampak itu sendiri kami tidak tahu, kalau mahasiswa saya yakin sudah paham
artinya. Tetapi bagi warga saya, hal ini kurang dipahami. Nah untuk itu, saya
mengajak agar warga Kandangan diberi sosialisasi agar mengerti. Saya tidak takut
dipecat karena saya menolak tambang. Jabatan ini amanah dari rakyat dan akan
saya gunakan untuk kepentingan rakyat”, tegas beliau selanjutnya. Senada dengan
kades Kandangan, kades Sarongan juga mengatakan hal yang sama. “Daerah saya 70%
mengandalkan ekonomi dari nira serta gula kelapa. Bila musim seperti ini, nira
yang didapat sedikit karena kekurangan air. Kalau nantinya air sungai disedot
untuk tambang, air untuk pertanian terutama pertanian pohon kelapa juga makin
sedikit. Akibatnya jelas, akan makin sedikit nira yang diperoleh. Oleh sebab
itu, saya mengundang untuk mengadakan sosialisasi akibat tambang di Sarongan.
Soal waktunya terserah, tapi saya sangat menginginkan hal ini terwujud dalam
waktu dekat”, ucap kades Sarongan lebih jauh.
Acara kemudian direhat sebentar
karena masuk waktu berbuka puasa. Setelah berbuka dan sholat maghrib acara
dilanjutkan kembali. Kali ini anggota KARST (Konsorsium Advokasi Rakyat Sekitar
Tambang) Jember, Sholeh dari Mina Bahari Jember mengawali perbincangan, “saya mengambil
contoh waktu penolakan tambang emas di Jember. Hasil Bathsul Masa’il NU
Jember mengeluarkan fatwa bahwa tambang
emas haram hukumnya. Alasannya adalah, dengan adanya tambang maka akan ada
sekian pekerjaan yang hilang dan oleh karena itu wajib hukumnya untuk ditolak.
Demikian juga bila IMN dibolehkan menambang, berapa nantinya banyak rakyat yang
akan dikorbankan serta kerusakan yang akan terjadi. Nah, melihat dari bermacam
segi baik sosial maupun agama lebih banyak kerugiannya mengapa tidak kita tolak”,
ucapnya kemudian.
Menyambung pernyataan tersebut,
seluruh elemen gerakan mahasiswa baik internal dan eksternal mengatakan bahwa
pada dasarnya tidak ada keraguan untuk menolak. Wakil dari BEM Untag bahkan
mengatakan bahwa sebenarnya mahasiswa sudah tergabung dalam satu wadah yaitu
‘Forum Diskusi Tanpa Batas’ dan sudah melakukan tindakan nyata. Hal ini juga
dikuatkan oleh wakil PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Banyuwangi
bahwa, rencana tambang emas Tumpang Pitu jelas-jelas merugikan rakyat. Oleh
karena itu PMII tegas menolak tambang Tumpang Pitu. Wakil GMNI (Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia) Banyuwangi juga mengatakan hal yang sama. Dasar
landasannya ialah, sudah bukan waktunya lagi penindasan atas dasar apapun
terjadi di Indonesia dan GMNI melihat bahwa IMN (investor tambang Tumpang Pitu,
red) adalah penindas baru makanya harus ditolak. Senada dengan itu, wakil HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) Banyuwangi mengatakan bahwa, mekanisme pemberian
ijin kepada IMN cacat hukum. Sehingga, keberadaan IMN illegal dan harus
ditolak. Selain itu HMI juga mengatakan harus ditinjau ulang mekanisme
pemberian perijinan ditingkat dewan Banyuwangi dan bila perlu digelar sidang
paripurna.
Satunya
sikap dan bertambahnya kawan seperjuangan akan membuat langkah makin ringan.
Seluruh peserta pertemuan berbagai pihak di New Surya Jajag semakin menyadari
bahaya tambang kedepan. Oleh sebab itu segera disusun rencana tindak lanjut
dari pertemuan ini agar kekuatan masyarakat makin poadu dan utuh. Perjuangan
ini masih panjang dan rumit. Sebab yang dihadapi adalah persekongkolan ekonomi
politik yang tidak memihak orang banyak. Tindakan ekonomi politik yang
berwawasan sempit inilah yang makin membuat rakyat tidak akan pernah sejahtera.
Kemandirian dan kekuatan rakyat merupakan syarat mutlak keberadaan suatu bangsa
dan negara. Bila dua hal ini tak terwujud, sulit untuk tetap bisa berdaulat dan
berkuasa ditanah sendiri (by).








